Diterangkan bahwa carok merupakan institusionalisasi
kekerasan dalam masyarakat Madura
yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor
struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial
ekonomi, agama, dan pendidikan. Tetapi, selain itu,
pada dasarnya juga terdapat pengaruh dari faktor
politik, yaitu lemahnya pemerintah dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat.
Sehingga, masyarakat Madura memilih
melakukan carok, karena hal ini dianggap lebih
memenuhi rasa keadilan mereka. Dengan kata lain,
carok juga merupakan kekurangmampuan para
pelaku carok mengekspresikan budi bahasa, oleh
karena mereka lebih mengedepankan perilakuperilaku
agresif secara fisik untuk menghilangkan
nyawa orang-orang yang dianggap musuh, sehingga
konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri
tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi (h.231).
Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan
terhadap orang yang melakukan pelecehan
harga diri – terutama gangguan terhadap istri
(perempuan) – yang menyebabkan orang Madura
malo2. Dalam konteks ini, carok sebagai institusionalisasi
kekerasan mencerminkan monopoli kekuasaan
suami (laki-laki) terhadap istri (perempuan).
Monopoli ini antara lain ditandai oleh adanya
perlindungan secara berlebihan (over protection)
terhadap istri (perempuan) seperti tampak pada pola
permukiman taneyan lanjang, tata cara penerimaan
tamu (khususnya laki-laki), cara berpakaian dan
model pakaian (fashion), kebiasaan melakukan
perkawinan antar keluarga (kin group endogamy)
khususnya perkawinan dibawah umur, dan sebagainya.
Oleh karena semua pelaku carok adalah lakilaki,
maka pembunuhan yang melibatkan orang
perempuan tidak disebut sebagai carok. Carok, oleh
orang Madura dianggap semata-mata sebagai urusan
laki-laki (h.232).
Carok, juga dipandang sebagai alat untuk
meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi
2 Perasaan terhina sebagai akibat dari perlakuan orang lain
yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya
atau pelecehan harga diri,
sebagai orang jago3 dalam lingkungan komunitas
mereka atau dalam lingkungan dunia blater4. Dengan
demikian, carok dipandang sebagai suatu alat untuk
memperoleh kekuasaan (h.232). Carok juga
dipandang sebagai alat untuk mengkomunikasikan
simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan
pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya.
Sehingga, hampir semua pelaku carok, dengan
sengaja dan penuh rasa bangga menyimpan bendabenda
yang pernah digunakan ketika melakukan
carok. Bahkan dengan sengaja menguburkan korban
carok di pekarangan rumah. Disimpulkan bahwa,
tindakan ini justru sangat memungkinkan terjadinya
tindakan kekerasan berikutnya. Dalam konteks ini,
carok bukan merupakan cara penyelesaian konflik
melainkan lebih merupakan proses reproduksi
kekerasan yang akan selalu menimbulkan tindakan –
tindakan kekerasan baru (carok turunan) (h.233).
Ada 2 jenis cara carok (h.100). Yang pertama
adalah ngonggai, suatu cara melakukan carok
dengan sengaja mendatangi rumah musuh untuk
menantangnya. Orang yang ngonggai pasti memiliki
keberanian yang luar biasa dan persiapan yang
matang. Oleh karena itu, cara ini lebih dihargai
daripada cara kedua, yaitu nyelep. Nyelep, yaitu
melakukan carok dengan cara mencari kelengahan
musuh dan menyerang secara tiba-tiba dari arah
belakang atau samping. Dari sini disimpulkan bahwa
sebagian besar kasus carok itu terencana. Tapi, ada
juga kasus carok spontan, yaitu ketika tiba-tiba
terjadi perselisihan yang menyangkut pelecehan
harga diri, maka seketika itu juga terjadi carok.
Kasus-kasus carok, dari data yang diperoleh,
terbanyak (60,4%) berlatar belakang gangguan
terhadap istri. Selain itu juga ada yang berlatar
belakang masalah salah paham (16,9%); masalah
tanah/warisan (6,7%); masalah utang piutang (9,2%);
dan masalah lain di luar itu, seperti melanggar
kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan sebagainya
(6,8%) (h.90).
Comments