Tayaqqadhuu yaa niyaam (hai, orang-orang yang tidur, bangunlah!). Tiga kali ajakan yang diserukan itu bergema dari Masjid Jami' Al-Amien Prenduan -- 75 menit sebelum shalat Shubuh. Para santri Tarbiyatul Mu'allimien al-Islamiyah (TMI) dan santriwati Tarbiyatul Mu'allimaat al-Islamiyah (TMaI), Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura, Jawa Timur, pun segera berwudhu. Sebelum shalat Shubuh berjamaah, mereka makan sahur (untuk puasa Senin dan Kamis). Lalu, shalat tahajud dan shalat witir.
Kegiatan rutin ini dilanjutkan makan pagi (bagi yang tak berpuasa) dan shalat dhuha. Pukul 7.30 hingga 14.10, mereka belajar di kelas. Terus, diikuti kegiatan lainnya. Sesudah Ashar, mereka menuju ke masjid untuk beriktikaf sambil menunggu shalat Maghrib berjamaah. Malam hari, mereka belajar tutorial. Tepat pukul 21.00 WIB, mereka tidur di kamar masing-masing. Itulah aktivitas sehari-hari yang dilakukan secara terpisah antara santri putra dan putri.
TMI/TMaI berada dalam lingkungan Yayasan Pondok Pesantren Al-Amien, dengan masa studi selama enam tahun untuk lulusan SD/MI, dan empat tahun --dengan kelas murakkaz -- bagi jebolan SMP/MTs, juga empat tahun -- dengan kelas intensif -- bagi keluaran SMU/MA. Sejak berdiri hingga 1999, TMI (1971) telah melahirkan 1.675 alumni putra, dan TMaI (1985) meluluskan 463 alumni putri. Mereka berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Alumni pertama TMI (1977) hanya 11 santri. Begitu juga jumlah alumni pertama TMaI (1991). Jumlah ini terus meningkat. Ini tampak pada lulusan TMI (1999), sebanyak 141 santri. Adapun TMaI, pada tahun yang sama, meluluskan 71 santriwati.
Lembaga pendidikan ini diasuh oleh KH Moh Tidjani Djauhari, KH Moh Idris Djauhari dan KH Maktum Djauhari. Tiga bersaudara -- putra KH Ahmad Djauhari, ini terjun ke dunia pendidikan setelah belajar di Kulliyatul Mu'allimien al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Sebagai santri KH Imam Zarkasyi, mereka ikut mengembangkan dan menyebarluaskan sistem pendidikan modern di lingkungan pondok pesantren di Indonesia.
Kiai Idris, direktur TMI/TMaI, menjelaskan, lembaga pendidikannya memiliki nilai-nilai dasar yang diajarkan kepada para santrinya. Pertama, nilai keislaman, yang mencakup akidah, syariah, akhlak, dan tradisi keilmuan dalam sejarah Islam dan masa keemasan. Kedua, nilai keindonesiaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang lainnya. Ketiga, nilai kepesantrenan, yang terdiri 'Panca Jiwa Pesantren' (keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, kemandirian, dan kebebasan), sunnah-sunnah pesantren yang positif dan konstruktif, dan keilmuan (ilmu nafi' dan al-hikmah). Dan, keempat, nilai kejuangan, yaitu pengabdian yang terbaik, kerja keras tanpa kenal lelah, pengorbanan tanpa pamrih, dan perjuangan li izzi al-Islam wa al-Muslimin sebagai rahmatan li al-alamin.
Tentu saja, penanaman nilai-nilai dasar itu tidak terlepas dari visi dan misi TMI/TMaI. Menurut Kiai Idris, visi TMI/TMaI adalah memberi penyadaran kepada setiap santri bahwa hidup ini hanya untuk beribadah kepada Allah dan mengharap ridha-Nya, dan mengimplemtasikan fungsi khalifah Allah di muka bumi.
Sedangkan misi TMI/TMaI adalah mempersiapkan individu-individu yang unggul dan berkualitas menuju terbentuknya khaira ummah (umat terbaik), dan mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat yang muttafaqih fi al-din -- baik sebagai ilmuwan, teorisi maupun praktisi -- yang mau dan mampu melaksanakan da'wah ila al-khayr, amar ma'ruf nahi munkar, dan indzar al-qaum. Karena itu, orientasi pendidikannya diarahkan kepada masalah-masalah kemasyarakatan, keulamaan-kecendekiaan, kepemimpinan, dan keguruan (sebagai jiwa atau profesi).
Menurut Kiai Tidjani, salah seorang pengasuh pondok, ijazah TMI/TMaI telah mendapatkan pengakuan persamaan (mu'adalah). Dari luar negeri, pengakuan itu berasal dari Jami'ah Islamiyah Madinah al-Munawwarah (1402H), Jami'ah Malik Abdil Aziz (Jami'ah Ummil Qura) Makkah al-Mukarramah (1402H), International Islamic University Islamabad Pakistan (1988), Universitas Al-Zaytoun Tunisia (1994), dan Jami'ah Al-Azhar Kairo, Mesir (1997). Pengakuan dari dalam negeri datang dari Pondok Modern Darussalam Gontor (1992) dan Departemen Agama (1998).
Dan, baru pada Kamis, 29 Juni 2000 lalu, Departeman Pendidikan Nasional (Depdiknas) memberi pengakuan resmi, bahwa tamatan TMI/TMaI -- juga KMI Pondok Modern Darussalam Gontor -- setingkat dan setara dengan tamatan Sekolah Menengah Umum (SMU). Pengakuan ini tertulis dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dengan Nomor 106/O/2000, yang ditandatangani oleh Dr Yahya A Muhaimin di hadapan para pejabat tinggi jajaran Depdiknas di Sawangan, Bogor. Sebagai wakil TMI/TMaI, Kiai Tidjani menerima keputusan itu.
Bagi Kiai Idris, pengakuan ini merupakan nikmat besar sekaligus amanah yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan kepada umat dan Allah. "Ini peristiwa penting yang akan dicatat dalam sejarah perkembangan pondok pesantren," katanya bersyukur. Sebab, sejak berdiri, ijazah TMI/TMaI memang tidak pernah mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, khususnya pada masa Orde Baru. Akibatnya, para alumninya sering mengalami kesulitan untuk meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi negeri (PTN). Namun, ada beberapa santri yang berusaha sendiri mengikuti ujian persamaan dan dapat ijazah dari lembaga pendidikan negeri. Pada masa ini, ada 151 alumni TMI/TMaI yang masuk ke PTN (agama), 159 alumni ke PTN (umum), 20 alumni ke PTS (agama), dan 25 alumni ke PTS (umum).
Setelah rezim Orde Baru tumbang, arah angin pendidikan bertiup ke arah sasaran yang tepat. Melalui Menteri Pendidikan Nasional, pemerintah mengakui TMI/TMaI sebagai lembaga pendidikan dengan sistem Mu'allimien. Kini, setelah menerima pengakuan Depdiknas, para lulusan TMI/TMaI tidak hanya bisa masuk ke PT luar negeri yang sudah memberi pengakuan, tapi juga PT dalam negeri di bawah naungan Depdiknas. Alhamdulillah. Tak perlu repot-repot lagi. (idris thah/dokrep/Juli 2000)
Sumber: Republika, Kamis, 27 November 2008
Kunjungi blog kami anwari.web.id
BalasHapus